Menyoal Energi Terhangatkan dekat RUU EBT Rasa Nuklir

                     Menyoal Energi Terhangatkan dekat RUU EBT Rasa Nuklir                Menyoal Energi Terhangatkan dekat RUU EBT Rasa Nuklir

Pemerintah dan DPR menyiapkan Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Teraktualkan (RUU EBT). Menariknya, pengembangan energi aktual nuklir, justru disusun lebih rinci dibandingkan energi teraktualkan.

Energi nuklir seolah-olah menjadi andalan masa depan pengganti sumber energi fosil. Lihatlah, sejumlah pasal yang membahas mulai pembangunan, pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), hingga rencana pembentukan BUMN menurut kegiatan pertambangan bahan galian nuklir.

Tak sampai dalam sana, pemerintah lagi menyiapkan badan pengawas tenaga nuklir adapun nantinya akan bertanggung balas langsung kepada presiden. Sementara, pembahasan energi perdanakan ketimbang panas bumi, angin, biomassa, sinar matahari, sampah, tenggat limbah, mendapat porsi adapun dua pasal.

Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa menilai isi RUU EBT tidak tepat lantaran tidak menjawab persoalan utama energi perdanakan. Padahal, tujuan utama pembentukan RUU EBT demi menurunkan emisi karbon.

"Seharusnya, RUU Energi Terkontemporerkan. Bukan RUU EBT," ujarnya keatas CNNIndonesia.com, Senin (10/10).

Kalau pun pemerintah ingin mengembangkan nuklir atau PLTN, ia menyarankan sebaiknya merevisi UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Begitu pula kalau ingin mengembangkan batu bara, yaitu tinggal UU Mineral dan Batu Bara.

Dengan begitu, RUU EBT bisa fokus dengan pengembangan energi hangatkan bahwa sewaktu ini telah tertinggal jauh dibandingkan negara lain.

Apalagi, potensi Indonesia sangat agam, yakni mencapai 3.800 Gigawatt (GW) sahaja atas energi termutakhirkan. Sementara saat ini, adapun tepat sasaran dikembangkan kurang atas 10 GW.

Padahal, pemerintah berkomitmen menurunkan emisi dari karbon hingga 29 persen memakai usaha sendiri, dan 41 persen memakai bantuan negara lain dalam 2030 nanti.

"Untuk mencapai net zero emission, pemerintah wajib membangun lebih dari 700 GW. Tantangan kita adalah kedalam 30 tahun mendatang, wajib dibangun 20-25 GW pembangkit energi terbarukan untuk menggantikan energi fosil," jelas Fabby.

Tentu, rencana tersebut di atas membutuhkan anggaran bahwa tidak minim. Karenanya, pemerintah layak mulai fokus sejak dini terhadap pengembangan energi perdanakan.

"Ini merupakan dasar mengapa kita wajib memprioritaskan pengembangan energi pertamakan," kata Fabby.

Terkait dengan pendanaan, Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengmenyingkap kebutuhan akan pengurangan emisi karbon mencapai US$266 miliar setara Rp3.990 triliun sampai 2030. Apabila saja mengandalkan APBN, tentu cita-cita menurunkan emisi karbon tidak atas tercapai.

Karenanya, perlu ada peran swasta, terbersarang sumber pendaan lainnya, bagaikan APBD, pungutan ekspor energi tak terkontemporerkan dan sebagainya nan secara Fabby, tepat dituangkan dalam RUU EBT.

Catatan Pengembangan Nuklir